Rabu, 05 Oktober 2022

Luka Terdalam keluarga Kami

Malam ini aku akan menceritakan sebuah kisah di keluargaku. Mungkin sedikit panjang, bersabarlah dan silahkan baca jika kamu tertarik atau sekedar kepo.

Flashback>>
2 Agustus 2019 pukul 13.00 wita, Aku baru saja menyelesaikan yudisium di fakultas. Masih menggunakan seragam putih hitam tanpa membawa baju ganti kuterobos koridor Rumah Sakit Wahidin yang jaraknya hanya tiga menit dari fakultasku, tempat saudari tertuaku menjalani perawatan. Jam besuk sudah berakhir pukul 12 siang, syukurlah petugas tidak mempersulitku masuk ke area rawat inap. Siang ini saudariku menjalani cuci darahnya yang kedua padahal baru saja kemarin sore ia melakukan cuci darah. Wajahnya pucat dan kondisinya masih belum sadar sama seperti tiga hari terakhir.

***

Sejak setahun terakhir tanda-tanda penurunan kesehatannya sudah terlihat. Ramadhan 2018 ia dirawat seminggu di Rumah Sakit Bayangkara dan akhir tahun 2018 hampir dua minggu di Rumah Sakit Haji. Diagnosa dokter ia menderita tipes. Aku dan adikku Lisa yang sudah cukup dewasa bergantian menjaganya di rumah sakit. Keluarga kami saudara dari ibu dan bapak, serta sepupu-sepupu juga selalu datang membawakan makanan atau berganti jaga.

Singkat cerita, awal tahun 2019 ia sudah keluar dari rumah sakit dan mulai bekerja kembali. Pikirannya selalu tentang kehidupan adik-adiknya. Bagaimana kami bisa makan enak dan bahagia tanpa kehadiran orang tua kami untuk sementara. Yah, Ibu Bapak saat itu tak berada di rumah. Mereka mencari rejeki untuk kami jauh diluar pulau. Tersisa kami bersaudara saling menjaga.
Kakakku sebenarnya memiliki keluarganya sendiri, tapi sesuatu terjadi yang menyakiti hatinya sebagai seorang istri dan menantu. Akhirnya ia kembali ke rumah orang tua kami membawa anaknya yang masih berusia tiga tahun waktu itu. Itu kisahnya sendiri.

Pertengahan januari 2019, tiap malam ia mengalami mimisan hampir setiap hari, setidaknya seminggu 3-5 kali. Mimisannya bisa tiba-tiba muncul, dan ia seperti sudah bersiap karena terbiasa. Kami hanya berpikir itu akibat dari kelelahan. Aku masih ingat dengan jelas malam-malam yang kami habiskan di kamar lantai dua rumah kami. Sambil menikmati seduhan kopi hijau dan tontonan Karma Roy Kiyoshi, kami saling mengomentari setiap tayangan episode yang dirasa lucu, menyeramkan dan terkadang mengena.
"Aku mencium aroma-aroma busuk dari arah sini," ucapnya. Dan benar saja ada aroma busuk seperti kotoran datang dari arah belakangnya. "Kampreett, bau kentut" tanggapku menutup hidung. Kemudian ia tertawa karena berhasil mengerjaiku.
Pernah ia bercerita menerima minyak gosok yang katanya pemberian orang pintar. Jika minyak itu ia gunakan, maka ia akan terhindar dari bala penyakit dan bisa membuat suaminya luluh kembali. Beberapa hari kemudian, ia mendengar berita kalau orang pintar itu mati. Kami tertawa. Akupun turut menceritakan kisah saat dompetku hilang dicuri dan berusaha mencaritahu ke orang pintar, belum bertemu dengan si orang pintar malah hapeku yang dicuri lagi. Kami menertawakan kejadian tersebut. Seolah mendapat teguran untuk tak mempercayai apapun selain kepada-Nya.

Kembali ke kondisinya. Sementara mimisan masih terus terjadi, pada  februari 2019, muncul sariawan di bibirnya. Lama kelamaan sariawan ini membesar dan menyebar dibibirnya. Sebulan kemudian ia sudah tak tampak seperti dirinya. Wajahnya bengkak dan menghitam dipenuhi luka basah dan tampak lebam. Bibirnya bernanah akibat luka yang tak kunjung kering. Saluran pernapasannyapun seringkali terganggu karena darah dihidungnya. Padahal tubuhnya baik-baik saja.
Perilakunyapun mulai berubah. Ia selalu marah. Dari "sering" ke "selalu". Aku mencoba mengerti mendengar teriakan serta caci-cacinya walaupun menyakitkan dan kadangkala tidak bisa menahan diri. Kadang kami cekcok jika sudah sampai klimaks. Lalu diam-diaman dan kembali saling berkomunikasi. Karena kami saudara. Aku sangat mengerti ia butuh dukungan emosional. Dia kesakitan. Fisik maupun mental.
Satu hari di bulan maret pukul 10 pagi aku membawanya ke rumah sakit. Kami ke rumah sakit tanpa persiapan. Hanya sehelai kerudung dan rasa panik. Diantar oleh Tetta Sage (Om) dan Tanta Oda (Tante), kami memasuki ruang IGD RS Awal Bross. Aku masih ingat pandangan orang-orang di ugd itu. Mereka seolah bertanya-tanya ada apa dengan wajah saudariku. Aku tak berkomentar apapun, hanya fokus dengan kebutuhannya. Sedikit lama di IGD, Mbak Ratih sepupu kami yang dokter menemuiku dan berjanji mengusahakan mendapatkan kamar untuk rawat inap. Saat itu kebanyakan kamar sudah penuh sehingga beberapa pasien terpaksa harus menginap di IGD. Begitupun saudariku. Kami menginap di IGD semalam hingga keesokan siang dikirim ke kamar perawatan. Hasil pemeriksaan rumah sakit ini ia didiagnosa dengan penyakit lupus. Aku kira lupus adalah penyakit saraf, ternyata lupus adalah penyakit yang berbahaya karena kata dokter lupus adalah penyakit dimana sistem imun diri menyerang diri sendiri. Jadi kondisinya saat itu tanpa pertahanan. Ibu bahkan pulang ke Indonesia untuk menjaganya.
Seminggu ia dirawat, kondisinya tak banyak perubahan. Tak bisa minum, tak bisa makan, tidak pula bisa bangun dari tempat tidur. Ia dipasangi infus untuk injeksi cairan, makanan (susu) dan obat-obatannya. Ini adalah momen yang sangat menyedihkan, bagaimana bisa saudari yang kau kenal penuh dengan energi dan suara yang menggelegar tiba-tiba berubah tanpa suara dan tenaga.
Banyak orang merekomendasikan untuk membawanya ke pengobatan alternatif, tentu saja hal itu pernah dilakukan. Sebelum sakitnya makin parah, kami membawanya berobat ke tempat rukiah, bekam, akupuntur hingga orang pintar. Hanya saja tak ada perubahan. Rumah sakit menjadi pilihan terakhir kami. 
Hingga satu rekomendasi terakhir dari rekan kerjaku kuturuti, Alhamdulilah perubahan yang sangat drastis terjadi. Hanya dalam hitungan menit setelah pengobatan via telepon itu, darah mengalir dari lukanya, persis setelah ibu menyeka, ia tiba-tiba terbangun dan minta air. Ia meneguknya tanpa rasa sakit. Sungguh bagi kami itu adalah keajaiban. Percaya atau tidak, perlahan ia menjadi pulih. Ia bisa makan dan bangun ke kamar kecil. Bahkan Luka-lukanya mulai mengering dan dalam beberapa hari sudah diperbolehkan pulang. Pemulihannya tidak butuh waktu lama, kurang lebih dua bulan sejak keluar dari RS, ia berinisiatif untuk kerja lagi. Kami dengan bodohnya setuju-setuju saja dengan keinginannya karena merasa kondisinya sudah pulih total. 
 
Ternyata tak butuh waktu lama hingga penyakitnya kembali kambuh. Juli 2019 mimisannya muncul hingga berpengaruh ke wajah dan seluruh tubuh. Inilah yang paling kusesali saat itu karena kami tak melakukan kontrol lanjutan selepas ia keluar rumah sakit. Ditambah lagi saudariku menolak dibawa ke rumah sakit ketika tanda-tanda itu muncul. Aku sangat menyesal karena tidak berpikir serius tentang kondisinya. Ibu melakukan hal-hal yang ia bisa untuk merawat kakakku, mencari obat tradisional dan pengobatan alternatif. Hingga akhirnya ia kami bawa kembali ke rumah sakit Wahidin Makassar, dimana ia akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada 2 Agustus 2019 setelah melalui hari-hari yang menyakitkan baginya dan kami sekeluarga. 
Ia pergi meninggalkan seorang gadis kecil yang hingga saat ini sangat takut untuk mendatangi tempat peristirahatannya. Gadis yang cerdas dan selalu mengingatkan kami atas dirinya.

Penyakit tak mengenal usia, sungguh, sedikitpun aku tak pernah mengira saudaraku akan menderita penyakit yang bisa memisahkan kami diusia muda. Padahal aku sangat ingin pamer padanya bahwa kuliahku akhirnya selesai, bahwa hubunganku telah berhasil kejenjang pernikahan, aku ingin mengajaknya jalan-jalan keluar kota. Aku ingin membalas banyak hal kepadanya....