Sabtu, 31 Agustus 2019

Habis Sarjana, Apa yang Akan atau Harus dilakukan?

Kemarin aku akhirnya wisuda S1 tingkat fakultas, alias Yudisium. Yudisium adalah momen dimana namamu akan disebut, beserta dengan lama studi dan nilai akhirmu. Lalu, kamu telah resmi menjadi sarjana. Petualangan dimulai.

"Sudah sarjana, ngapain lagi?", Ibu bertanya.

Ini adalah pertanyaan yang pasti terlintas dipikiran kita dan orang-orang yang peduli dengan kita. Tentu saja ada banyak hal yang bisa dilakukan. Tingkatan sarjana adalah hal yang semakin menantang, semakin matang dan seharusnya membuatmu multibisa.

"Aku akan merantau Bu, mencari jati diri, menaklukkan dunia dan mencari cinta sejatiku," jawabku bercanda. "Untuk sekarang sih kerja dulu Bu, nanti ikut pendaftaran cpns atau lanjut S2 (kalau lagi mood)," sambungku lagi. "Iya, Nak. Bagaimana bagusnya untukmu saja," balas Ibu tanpa panjang lebar dan memberikan sepenuhnya keputusan padaku. Sama seperti ketika aku lulus SMA yang memberikanku kebebasan melakukan apapun. Keluargaku sangat liberal bukan? hhehee. But sometimes, mereka juga cukup konservatif loh :( disini aku agak berat. Gak usah diceritain ya.

==========================

Secara garis besar ada dua hal yang bisa kamu lakukan setelah Sarjana.

1. Melanjutkan pendidikan. Ini adalah hal yang luhur sepanjang masa. Meningkatkan taraf hidup, melanjutkan perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan negara kita, menjadikan negara lebih baik dimata dunia. Adalah suatu kebanggaan tersendiri saat kita menjadi bagian dari tidak banyak orang yang sampai pada posisi ini. 

2. Bekerja. Waktu kecil kita selalu ingin cepat menjadi dewasa dan memiliki jalan hidup sendiri. Percayalah, dewasa itu bukan hal yang menyenangkan. Salah satunya karena kamu harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupmu. Yah kalau kamu anak sultan sih gak masalah~ dilema susahnya hidup gak perlu kamu pikirkan. 

Dari dua hal ini aku pribadi memutuskan untuk memilih nomor dua. Alasannya sederhana.
1. Aku gak tertarik belajar
2. Aku suka uang
3. Aku butuh uang

=================================

Di keluargaku, aku adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Lima saudaraku masih sekolah. Satu dibawahku sudah berkeluarga dan yang paling tua baru saja meninggal. Kondisi ini membuat keluargaku harus berusaha lebih giat mencari nafkah. Jika dulu ada Kakak, Ibu, Bapak dan aku yang berperan menjaga stabilitas ekonomi rumah tangga, kini tersisa Aku dan Bapak. Disinilah aku mengerti kenapa orang tua kita dahulu selalu menyuruh untuk terus belajar. Jawabannya adalah agar kita tidak menjadi bodoh dan hanya mengandalkan tenaga. Kita harus bekerja cerdas, memiliki skill dan kemampuan yeah.

Jadi hari pertamaku sebagai sarjana ekonomi kulakukan dengan bekerja. Dasarnya aku memang sudah kerja sih. Pekerjaan terasa hampa. Duka masih bersemayam dikeluargaku. Saat saudara yang kau temani tumbuh bersama akhirnya tak menua bersamamu. Kepingan-kepingan kenangan tersisa seolah menyalahkan dirimu. Tapi seperti itulah hidup. Kamu harus move on, bukan dalam artian melupakan. Dia punya cita-cita, dan kamu bisa melanjutkan itu menggantikannya. Aku tahu betul, saudaraku itu hanya menginginkan keluarga kami hidup berkecukupan tanpa beban dan membahagiakan orang tua. Insya Allah kuniatkan diriku untuk itu.